Pasar keuangan Indonesia kompak reli selama tiga hari beruntun hingga pada Kamis (6/102022), ditandai dengan menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah. Namun, pasar obligasi ditutup beragam.
IHSG pada awal perdagangan kemarin sempat menguat 0,44% hingga menyentuh level psikologis 7.100, sebelum akhirnya memangkas penguatannya hingga berakhir naik tipis 0,02% ke 7.076,623.
Penguatan IHSG dibantu oleh tujuh indeks sektoral, di mana sektor teknologi berhasil naik cukup tajam 0,98%. Kemudian, indeks sektor keuangan, yang memiliki pangsa pasar terbesar juga menguat 0,53%.
Total volume transaksi mencapai 22,23 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 15,93 triliun. Nilai transaksi tersebut lebih besar dari pada perdagangan Rabu (5/10) yang hanya di Rp 12,22 triliun.
Investor asing tercatat melakukan aksi beli (net buy) hingga Rp 4,06 triliun di semua pasar.
Dinamika IHSG tidak searah dengan pergerakan bursa saham Asia yang ditutup bervariasi. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup menguat 0,7% ke posisi 27.311,3, ASX 200 Australia naik tipis 0,03% ke 6.817,5, dan KOSPI Korea Selatan melesat 1,02% ke 2.237,86.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong ditutup melemah 0,42% ke posisi 18.012,15 dan Straits Times Singapura turun tipis 0,05% menjadi 3.151,56.
Sementara untuk pasar saham China hingga hari ini masih belum dibuka. Pekan ini merupakan Golden Week atau libur panjang di China, memperingati serangkaian Hari Nasional China. Bursa Asia-Pasifik pada akhirnya berakhir beragam kemarin, setelah selama dua hari beruntun mencatatkan penguatan.
Senasib, nilai tukar rupiah berhasil menguat terhadap dolar AS kemarin, dengan begitu Mata Uang Garuda telah terapresiasi selama tiga hari beruntun.
Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 15.190/US$, setelahnya berbalik melemah tipis ke Rp 15.202/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 15.185/US$, menguat tipis 0,03% saja di pasarspot.
Sementara, pasar obligasi ditutup beragam, di mana pada SBN tenor 3, 15, 20, dan 30 tahun diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Sedangkan sisanya dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 1 tahun menjadi yang paling besar kenaikan yield-nya yakni menanjak 8,5 basis poin (bp) ke posisi 5,561%.
Sedangkan untuk yield SBN bertenor 30 tahun menjadi yang paling besar penurunan yield-nya yakni menurun 4,2 bp menjadi 7,351%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara naik 1,8 bp menjadi 7,219%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Meski katalis global sedang tidak bersahabat, tapi pasar keuangan Indonesia masih berhasil menguat, bahkan selama dua hari beruntun.
Salah satu katalis negatif kemarin yakni, kartel Negara Pengekspor Minyak Mentah (OPEC) begitu juga Rusia dan beberapa lainnya yang disebut OPEC+kemarin memangkas tingkat produksinya, sebesar 2 juta barel per hari mulai bulan November 2022.
Langkah OPEC+ tersebut mendapat kritik dari banyak pihak, termasuk dari Amerika Serikat (AS).
Brennock, Analis senior di PVM Oil Associates di London bahkan mengatakan OPEC+ bertindak egois dan lebih mementingkan duit, padahal banyak negara saat ini menghadapi masalah akibat tingginya inflasi.
“Supply yang sudah ketat, dan kini malah semakin dikurangi akan langsung memukul konsumen. Itu adalah langkah yang egois dan hanya bertujuan untuk mendapatkan profit. Pendek kata, OPEC+ memprioritaskan harga di atas stabilitas dalam kondisi yang penuh ketidakpastian di pasar minyak mentah,” tambahnya.
Lantas, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Aksi jual saham di bursa saham AS meningkat kemarin, di mana imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 dan tenor 2 tahun naik.
Indeks Dow Jones ditutup ambles 1,15% ke 29.926,94 dan S&P 500 jatuh 1,02% ke 3.744,52. Sementara Nasdaq drop 0,68% ke 11.073,31. Padahal, ketiga indeks utama sempat membuka perdagangan di zona hijau.
Ketiga indeks tersebut berada di jalur penguatannya secara mingguan sebanyak 4% dan menjadi pekan terbaiknya sejak 24 Juni 2022.
Sektor energi menjadi sektor terbaik, melesat 1,8%, sementara sektor utilitas tergelincir tajam 3,3%.
Yield obligasi tenor 10 tahun menyentuh 3,8%, sementara yield obligasi tenor 2 tahun yang lebih sensitif terhadap kenaikan suku bunga naik hingga 4,2%.
Investor global masih menantikan rilis data pada hari ini, terutama data yang akan menunjukkan bagaimana situasi pasar tenaga kerja pada September 2022, memberi Fed informasi lain tentang kampanye kenaikan suku bunganya.
Konsensus analis Dow Jones memprediksikan bahwa data tenaga kerja di sektor non-pertanian (NFP) akan bertambah 275.000 pekerjaan dan angka pengangguran akan tetap di 3,7%. Namun, jika NFP bertambah, maka akan menambah kekhawatiran akan The Fed yang kian agresif di pertemuan selanjutnya untuk meredam inflasi.
“Sekali lagi, investor mencari kabar buruk untuk menjadi kabar baik, bahkan jika laporan September lebih rendah dari yang diharapkan, pertumbuhan upah kemungkinan akan bertahan dan tidak membuat Fed agresif,” tutur Analis Wolfe Research Chris Senyek dikutip International.
“Sementara saham saat ini rentan terhadap kenaikan besar, kami sangat percaya bahwa basis bearish jangka menengah tetap ada,” tambahnya.
Bursa acuan dunia yakni Wall Street telah berakhir di zona merah selama dua hari beruntun, bahkan aksi jual kian menjadi-jadi. Kemarin, indeks acuan utama yakni S&P 500 jatuh hingga lebih dari 1%.
Kekhawatiran akan keagresifan Fed dan kenaikan yield obligasi AS, tampaknya menjadi pemicu ambruknya bursa AS. Yield obligasi tenor 10 tahun menyentuh 3,8%, sementara yield obligasi tenor 2 tahun yang lebih sensitif terhadap kenaikan suku bunga naik hingga 4,2%. Padahal, di awal pekan, yield obligasi tenor 10 tahun sempat turun ke 3,6%.
Kenaikan pada yield obligasi menandakan bahwa investor sedang memburu aset investasi yang lebih aman karena situasi ekonomi tidak pasti.
Direktur Utama PT Yugen Bertumbuh Sekuritas, William Surya Wijaya memprediksikan bahwa IHSG masih rawan koreksi dan akan diperdagangkan di kisaran 6.872-7.236.
“Mengakhiri pekan pertama pada bulan kesepuluh tahun ini, IHSG masih terlihat berada dalam rentang konsolidasi wajar dengan pola tekanan yang belum kunjung reda. Potensi naik dalam jangka menengah – panjang masih terlihat sehingga momentum tekanan masih dapat dimanfaatkan oleh investor untuk melakukan akumulasi pembelian untuk saham-saham yang memiliki fundamental kuat dan likuiditas tinggi, tapi IHSG hari ini berpotensi tertekan,” tuturnya dalam analisisnya.
Dari dalam negeri, investor perlu mencermati rilis Foreign Exchange Reserves (Cadangan Devisa) per September 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pada pukul 11:00 WIB hari ini.
Cadangan devisa merupakan rilis data yang penting mengingat rupiah yang sudah terdepresiasi dalam melawan dolar AS. Angka cadangan devisa yang tinggi dan mencukupi dapat menjadi salah satu buffer utama agar rupiah mengalami korosi lebih tebal.
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa cadangan devisa RI masih akan tetap kuat di tengah melemahnya Mata Uang Garuda terhadap dolar AS. Ini karena bauran kebijakan BI untuk mengintervensi nilai tukar rupiah bukan hanya dilakukan lewat intervensi pasar spot.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Wahyu Agung Nugroho menjelaskan, dalam upaya mengontrol pergerakan rupiah di tanah air, BI melakukan triple intervention melalui pasar spot, pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan masuk ke dalam pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) jika dibutuhkan.
“Transaksi DNDF adalah transaksi forward valuta asing terhadap rupiah dengan penyelesaian memperhitungkan selisih kurs acuan dengan kurs yang disepakati,” jelas Wahyu pada Sabtu (1/10/2022).
“Ini salah satu keunggulan DNDF. Jadi, tidak berdampak ke cadangan devisa dan lebih ke arah pembentukan ekspektasi nilai ke depan,” kata Wahyu lagi.
Adanya DNDF di pasar valuta asing domestik, kata Wahyu memberikan keyakinan kepada pelaku pasar, baik eksportir dan importir maupun investor asing yang memiliki aset rupiah, untuk melakukan lindung nilai atas risiko nilai tukar. Lewat DNDF bank sentral akan melakukan lelang terhadap perbankan untuk melihat ekspektasi pergerakan rupiah ke depan.
Pada September 2022, cadangan devisa diperkirakan masih akan bertambah karena adanya penerbitan global bonds oleh pemerintah yang mencapai US$ 2,3 miliar.
“Pemerintah issue global bond US$ 2,3 miliar, ini akan menambah cadangan devisa. Sehingga pada September, cadangan devisa tidak akan turun jauh sejalan dengan kebutuhan intervensi,” tutur Wahyu.
Lagi pula, lanjut Wahyu intervensi nilai tukar rupiah tidak hanya dilakukan melalui pasar spot. Ditopang perekonomian Indonesia yang beberapa bulan terakhir mencatatkan perkembangan yang baik.
“Neraca perdagangan di Juni dan Juli surplus kisaran US$ 10 miliar, ini masukan (menambah) valas secara berturut-turut atau akumulatif, dengan dua bulan lebih surplus… Sehingga secara fundamental pasokan valas itu ada di Bank Indonesia,” kata Wahyu lagi.
Adapun cadangan devisa pada Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar mampu membiayai 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Beralih pada Negeri Paman Sam, investor global akan disuguhkan dengan rilis angka pengangguran AS per September 2022. Rilis data ekonomi tersebut akan menjadi salah satu data masukkan untuk Fed sebelum memutuskan kebijakan moneter selanjutnya.
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan angka pengangguran masih akan bertahan pada 3,7%, posisi yang sama pada bulan sebelumnya.
Sebagai informasi, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan angka pengangguran pada Agustus 2022 berada di 3,7%, naik dari bulan Juli 2022 di 3,5% dan menjadi posisi tertinggi sejak Februari 2022. Jumlah pengangguran meningkat 344.000 orang menjadi 6 juta orang, sedangkan tingkat penyerapan tenaga kerja juga naik 442.000 pekerjaan.
Jika angka pengangguran stagnan, kemungkinan dampak terhadap pergerakan bursa saham tidak terlalu signifikan. Namun, jika angka pengangguran turun, maka akan menjadi sentimen negatif. Meskipun, hal tersebut merupakan berita baik.
Pada situasi saat ini, berita baik pada data ekonomi AS akan menjadi berita buruk karena mencerminkan bahwa pasar tenaga masih ketat, sehingga meningkatkan potensi Fed untuk kembali agresif untuk meredam inflasi.
Pasar tenaga kerja yang ketat karena angka lowongan kerja lebih banyak dari angka pengangguran akan membuat para pelaku bisnis untuk menaikkan upah guna mendapatkan calon karyawan yang potensial. Sehingga, masyarakat akan tetap konsumtif, di tengah angka inflasi yang tinggi.
Padahal, Fed sudah bertindak agresif dengan menaikkan suku bunga hingga 300 bps di sepanjang tahun ini untuk memperlambat konsumsi. Pasar tenaga kerja yang ketat akan membuat angka inflasi sulit melandai. Bahkan, dapat menahan inflasi bertahan di posisi yang tinggi untuk waktu yang lama.
Di sisi lainnya, secara teknis perekonomian AS sudah memasuki zona resesi karena PDB nya terkoreksi selama dua kuartal beruntun pada kuartal pertama dan kedua tahun ini.
Jika inflasi tetap tinggi dibarengi dengan pelemahan ekonomi, maka akan berpotensi terjadi stagflasi. Amerika merupakan negara perekonomian terbesar di dunia, sehingga ketika terjadi stagflasi dapat menimbulkan efek domino terhadap negara-negara lain.
Hal tersebut juga telah diperingatkan oleh Bank Dunia (World Bank) bahwa stagflasi bukan hanya masalah untuk AS, tapi juga merupakan masalah perekonomian global.
Para pakar dan ekonom telah mengingatkan bahwa stagflasi lebih sulit “disembuhkan” ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja.
Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.